Minggu, 10 November 2013

Kisah-Kisah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya (Menyambut Hari Pahlawan)

tutusberita :  Bung Tomo, Radio Pemberontakan, dan Teriakan `Allahu Akbar`


Bung Tomo berdusta. Kepada para pemimpin lokal di Surabaya, ia mengklaim mendapat izin untuk mendirikan radio dari Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Pada kenyataannya, saat bertemu Amir di Jakarta, izin itu tak diberikan.

Pria bernama asli Sutomo tersebut melakukannya lantaran kecewa berat. Di Jakarta, pasukan Sekutu datang pada 30 September 1945. Para serdadu Belanda ikut rombongan.

Hal yang membuatnya gundah: bendera Belanda berkibar di mana-mana. Saat itu, Bung Tomo masih berstatus wartawan kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian penerangan Pemuda Republik Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya saat itu.

Sebelumnya, pada 19 Desember, sebuah insiden terjadi di Hotel Yamato atau Hotel Oranye, Surabaya. Sekelompok orang Belanda memasang bendera mereka. Rakyat marah. Seorang Belanda tewas dan bendera merah-putih-biru itu diturunkan. Bagian biru dibuang, tinggal merah-putih, yang langsung dikerek naik.

Sementara, di Jakarta, Bung Karno meminta para pemuda untuk menahan diri, tak memulai konfrontasi bersenjata.

Lalu, Bung Tomo kembali ke Surabaya. "Kita (di Surabaya) telah memperoleh kemerdekaan, sementara di ibukota rakyat Indonesia terpaksa hidup dalam ketakutan," katanya seperti dicatat sejarawan William H. Frederick dari Universitas Ohio, AS.

Ia mundur dari PRI karena menganggap organisasi yang dipimpin Soemarsono ini terlampau 'lembek.' Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) didirikannya. Bung Tomo juga mundur dari ANTARA.

Di masa itu, mengundurkan diri bukan perkara sepele. Bung Tomo sempat mau 'dihabisi' rekan-rekannya di PRI karena dianggap memecah-belah rakyat.



Kemudian, sebuah radio akhirnya benar-benar didirikan Bung Tomo untuk terus memelihara semangat perlawanan. Radio tersebut diberi nama 'Radio Pemberontakan' dan mulai mengudara pada 16 Oktober 1945. Di hari-hari pertama, pemancarnya masih meminjam milik RRI Surabaya.

Penyiar utamanya, ya, Bung Tomo. Dengan suara menggelegar dan intonasi memikat, pria kelahiran 3 Oktober 1920 itu secara rutin muncul untuk menyampaikan pidato. Sebelum dan sesudah pidato, ia selalu selalu meneriakkan "Allahu Akbar."

Menurut Frederick, berdasarkan penelitiannya untuk Ph.D, cara itu ditempuh demi memikat kalangan santri yang sangat dibutuhkan tapi banyak yang belum tergerak menceburkan diri dalam gerakan perlawanan menyambut kedatangan tentara Sekutu.

Jakarta sesungguhnya tak terlalu suka dengan langkah-langkah suami Sulistina ini. Dianggap terlalu 'menghasut' untuk perang, melupakan jalan diplomasi. Tapi, mereka tak bisa berbuat banyak.


K'tut Tantri Mengudara

Siaran juga dilakukan dalam bahasa Inggris. Orang yang melakukannya adalah perempuan Amerika Serikat kelahiran Skotlandia, Muriel Pearson, atau lebih dikenal sebagai K'tut Tantri.

Tantri siaran dua kali dalam semalam. "Tujuannya adalah memberikan penjelasan kepada mereka yang berbahasa Inggris di dunia mengenai kisah perjuangan bangsa Indonesia. Kisah dari sudut pandang rakyat Indonesia sendiri," tulis Tantri dalam otobiografinya, Revolt in Paradise.

Pada 25 Oktober 1945, pasukan Inggris yang mewakili Sekutu akhirnya tiba di Surabaya. Brigjen AWS Mallaby memimpin. Sehari sebelumnya, Bung Tomo berorasi di radio. Petikannya:

"Kita ekstremis dan rakyat sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki..."

"Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstremis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"



Pertempuran akhirnya pecah pada 27 Oktober 1945 setelah pasukan Inggris membebaskan sejumlah intel Belanda yang ditangkap sebulan sebelumnya. Mereka lalu mengambil alih beberapa instalasi penting seperti kantor jawatan kereta api, kantor telepon dan telegraf, serta rumah sakit. Tapi, mereka kalah jumlah.

Kontak senjata sempat jeda setelah Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya. Trio ini datang atas permintaan Inggris yang terdesak. Namun, 3 hari kemudian, Mallaby tewas.

Ultimatum dijatuhkan: para pemimpin Surabaya harus menyerah paling lambat pukul 18.00 pada 9 November 1945. Semua rakyat yang memegang senjata juga harus melakukan hal serupa. Lalu, pembunuh Mallaby menyerahkan diri.

Jika tidak dipatuhi, pada 10 November mulai pukul 06.00, Inggris akan mulai menggempur. Permintaan itu tak dituruti. Pada 9 November, Bung Tomo lagi-lagi berpidato di radio. Nukilannya:

"Saudara-saudara rakyat Surabaya. Bersiaplah! Keadaan genting. Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu."

"Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka. Dan untuk kita, Saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap. Merdeka atau mati! Dan kita yakin, Saudara-saudara, akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, Saudara-saudara!

"Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!"


Sekutu Nyaris Bertekuk Lutut, Bung Karno `Menyelamatkan`




Sabtu, 27 Oktober 1945. Menjelang siang, sebuah pesawat militer menjatuhkan ribuan pamflet di atas Surabaya. Isi pamflet itu: Sekutu akan menegakkan keamanan dan ketertiban. Hanya tentara Sekutu yang boleh membawa senjata. Jika ada pihak lain yang membawa senjata, bakal ditembak.

Pamflet itu diteken Mayjen. D.C. Hawthorn, Panglima Sekutu untuk wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Pamflet serupa juga disebar di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Tapi, ditanggapi dingin-dingin saja.

Di Surabaya, lain cerita. Mereka sangat Curiga, Belanda memanfaatkan kedatangan Sekutu untuk kembali menjajah dan menumbangkan Republik Indonesia yang masih bayi.

Seluruh senjata diminta diserahkan dalam tempo 48 jam. Namun, selepas magrib, pertempuran telah pecah di berbagai sudut kota.

Brigade ke-49 Inggris, yang mewakili Sekutu di Surabaya dan dipimpin Brigjen AWS Mallaby, berjumlah 6.000 orang. Mereka berhadapan dengan sekitar 30 ribu anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan puluhan ribu rakyat sipil bersenjata.

Selain unggul dalam jumlah personel, pihak Republik juga memiliki 12 tank dan beberapa meriam. Semua hasil rampasan dari Jepang. Pun, dukungan total dari seluruh rakyat tanpa mengenal usia.

Hal lain, pihak Republik sukses memutus pasokan listrik dan air bersih ke pasukan Sekutu. Mereka mati kutu. Di tengah-tengah situasi itu, Sekutu meminta bantuan pimpinan tertinggi Republik.



Pada 29 Oktober pagi, sebuah pesawat Angkatan Udara Inggris mendarat di lapangan udara Morokrembangan, Surabaya. Pesawat itu membawa Bung Karno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, dan sejumlah perwira Inggris.

Untuk beberapa jam, trio pemimpin itu berada di markas tentara Inggris. Akhirnya disepakati gencatan senjata.

"Mereka memberikan kepadaku sebuah jip dan mulailah aku menenteramkan keadaan...Aku berkeliling ke seluruh penjuru di mana saja pahlawan-pahlawan muda kami berada..." kata Bung Karno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat.

Dalam perjalanan, konvoi dihentikan. Soemarsono, ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), berdiri di tengah jalan. Ratusan anak buahnya mengepung dengan senjata di tangan. Bung Karno keluar dari mobil.

"Bung, kenapa pertempuran kita hentikan? Inggris sebentar lagi akan kita kalahkan," kata Soemarsono seperti dicatat Hersutejo dalam Soemarsono: Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan.

Bung Karno bersikap tenang dan meminta Amir Sjarifuddin keluar. Soemarsono, yang merupakan kader Amir di Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), tak menyangka patronnya ikut dalam rombongan.

Amir berujar, "Hal ini sudah didiskusikan dengan kawan-kawan di Jakarta. We have to win the war, not the battle."

Meski kecewa, Soemarsono patuh. Ia mengantar rombongan ke RRI Surabaya. Melalui corong radio, Bung Karno menyerukan seluruh rakyat Surabaya untuk meletakkan senjata. Ditegaskan, Republik tak memusuhi Sekutu yang datang untuk melucuti militer Jepang yang baru takluk di Perang Dunia II.


Keesokan harinya, perundingan digelar. Sekutu diwakili Mallaby dan Hawthorn. Pamflet yang disebar 27 Oktober menjadi sumber perdebatan sengit. Akhirnya, Hawthorn menyatakan pamflet itu ditarik.

Setelah beberapa perjanjian disepakati, pada 30 Oktober siang, para pemimpin Republik kembali ke Jakarta. Tapi, suasana tenang hanya bertahan beberapa jam.

Pada malam harinya, sebuah insiden menewaskan Mallaby. Sekutu benar-benar marah. Inilah yang mengantarkan kedua pihak dalam pertempuran besar-besaran sejak 10 November dan beberapa hari setelahnya.


sumber : kaskus.co.id

0 komentar:

Posting Komentar